Sudah sejak dahulu kala, keindahan alam Bali dipuja dan dipuji oleh para
leluhur. Lontar Anyanag Nirartha menyebutkan bahwa Dang Hyang Nirartha
pada abad XV dari pulau Nusa dua mengungkapkan perasaannya akan betapa
indahnya kawasan Peti Tenget, Uluwatu, maupun Nusa Dua yang menjorok ke
laut. Keindahan Gunung Agung, terbitnya matahari, deburan ombak,
lambaian daun nyiur, nyanyian binatang dengan pasir putihnya, merupakan
pesona alam yang sangat mengangumkan dapat dilihat dan dirasakan dari
pulau ini.
Di dalam kekawin Ramayana Bab XXV. 16, dinyatakan bahwa binatang akan
menjadi saleh, burung siung tekun mempelajari pengetahuan keindahan.
Lebih jauh dalam Kitab Suci Negara Kertagama karangan Prapanca pupuh
XXXII melukiskan : “Berhamburan bunga naga kusuma di halaman yang
dilindungi selokan andung, karawira, menuh serta kayu puring yang
dipagari batu giok”. Kekawin Bharatayudha Bab V.2-3 menyebutkan, di
sebelah Barat ada taman yang dihias dengan batu-batuan dan dihiasi bunga
tanjung, selalu bercahaya. Di sinilah wanita-wanita cantik bermain-main
di bawah sinar bulan.
Konsep Pertamanan Bali
Di Bali, pertamanan bukan saja melibatkan arsitektural, fungsional,
estetika, akan tetapi juga melibatkan filosofi budaya Bali di setiap
penempatan komponen pertamanannya, sehingga terpola sedemikian rupa,
baku dan khas untuk setiap komponen yang ada. Pertamanan Bali atau
Pertamanan Tradisional Bali mempunyai filosofi yang sangat tinggi,
sehingga dimuat di berbagai lontar dan kitab suci. Filosofi Pertamanan
Tradisional Bali diawali oleh cerita pemutaran Gunung / Mandara Giri.
Dalam lontar Adi Parwa halaman VXIX disebutkan bahwa dalam pemutaran
Mandra Giri di Ksirarnawa memunculkan beberapa komponen yaitu :
Ardha Chandra, atau bulan sabit, yaitu unsur keras dan keindahan.
Setelah dianalisis keluar sebagai aspek bangunan dengan segala bentuk
dan keindahannya. Kayu Kasta Gumani, sebagai unsur tanaman yang memberi
kehidupan atau kalpataru, memunculkan Panca Wriksa yaitu lima tanaman
pertama yang tumbuh dan memberi kehidupan, yaitu beringin (Ficus
bengalensis) yang dapat memberikan keteduhan dan kedamaian hidup, ancak
atau pohon bodhi (Hemandia Pellata) sebagai tempat meditasi untuk
berhubungan dengan Tuhan, memohon kehidupan dan kedamaian, pisang (musa
sp), yang merupakan makanan yang memberikan kehidupan, tanaman uduh
(Caryota mitis) yang merupakan tempat menerima “pituduh/wangsit” atau
petuah serta tanaman peji, sebagai tempat memuji atau menyembah
kebesaran Tuhan. Air yang mengental, sebagai pelambang air kehidupan
yang merupakan unsur terpenting yang dapat memberikan kesejukan, baik
kesejukan pikiran maupun kesejukan lingkungan, jadi merupakan air
amertha atau air kamandalu, karena amertha berarti tidak mati atau
kehidupan yang langgeng. Penjabaran lebih jauh dari air ini,
menghasilkan “Pancara”, yaitu rekayasa air untuk lingkungan, yang
meliputi : seta atau jembatan, tama atau tetaman, tambak atau
perikanan, telaga atau ekositem dan peken atau pasar.
Dewi Laksmi, sebagai pelambang keindahan, baik dalam keindahan
kedamaian, keserasian, keharmonisan dan lingkungan, yang bermuara
memberikan amertha kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kuda Oncersrawa (kuda putih), sebagai pelambang kreativitas tata ruang.
Bongkah, adalah sebagai pelambang bentuk yang tidak beraturan seperti
bebatuan, tanah. Prelaya, adalah kehancuran, kematian atau tidak utuh.
Pemunculan komponen tersebut yang dipakai landasan dalam membuat atau
mendisain sebuah taman atau lanskap di Bali, yang harus sesuai pula
dengan unsur Satyam (kebenaran), Siwam (kebersihan, kesucian,
kemuliaan), Sundaram (keindahan, kecantikan, keharmonisan) yang menjiwai
konsep Tri Hita Karana, Tri Mandala, Tri Angga maupun Asta Dala.
Tri Hita Karana adalah tiga sebab yang memberikan kebahagiaan, yaitu
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama dan
hubungan manusia dengan lingkungannya. Konsep Tri Mandala (tiga areal)
juga dipakai dalam konsep ini, yaitu Utama Mandalanya adalah Parhyangan
atau tempat suci atau pemerajan atau sanggah, Madya Mandalanya adalah
pekarangan rumah yang meliputi bangunan tempat tinggal, dapur, kamar
mandi, kerumpu atau jineng dan “teba” atau tegalan, sedangkan Nista
Mandalanya adalah pekarangan luar rumah atau jaba atau pekarangan
sebelum memasuki pekarangan rumah.
Selain itu juga memasukkan unsur Tri Angga (tiga bagian badan), yaitu
Ulu (kepala), Badan dan Kaki. Ulu (kepala) adalah gunung, akan
memberikan tuntutan berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, agar
mendapatkan kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.
Badan adalah perkampungan dengan perkotaannya tempat masyarakat mencari
penghidupan, sedangkan Kakinya adalah lautan, tempat membuang segala
mala petaka dan kotoran lahir dan batin lainnya.
Asta Dala adalah delapan penjuru arah mata angin, yaitu Utara, Timur
Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat, Barat Laut.
Pola ruang dibagi berdasarkan konsep natah atau halaman rumah bagi
budaya Bali, yaitu “Tapak dara” adanya sumbu perancangan Timur-Barat
sebagai sumbu religi dan Utara-Selatan sebagai sumbu bumi. Perputaran
kekanan dari “Tapak dara” menghasilkan Swastika Yana yaitu yang memberi
gerak kehidupan yang seimbang dan harmonis secara abadi menuju kesucian.
Di bagian perpotongan sumbu tersebut dilengkapi dengan bangunan Padma
(tempat suci), sebagai tempat memuja Çiwa Reka yang menghubungi antara
Pertiwi (tanah) dengan Akasa (langit).
Filosofi Tanaman Dan Penempatannya
Penanaman tanaman penting dalam satu tapak pekarangan rumah yaitu
sebelum pintu masuk di sebelah kanan sebaiknya ditanami tanaman “blatung
gada”/kaktus (Pachycereus Sp), sedangkan di sebelah kiri ditanami
tanaman dapdap wong (Erytherina variegata) yang diyakini dapat melawan
maksud-maksud tidak baik. Setelah memasuki pintu masuk, di sebelahnya
ditanami bergu/ weregu (Rhapis exelsa) yang diyakini mampu menghancurkan
kekuatan negatif yang lebih kuat, sedangkan dekat dapur ditanami kelor
(Moringaoleivera L) sebagai penangkal kejahatan terakhir di pekarangan
rumah. Di pintu masuk Utama Mandala (merajan, sanggah) ditanami jepun
petak (putih) dan sudamala (Plumeria rubra), yang mempunyai makna
filosofi membersihkan dan memarisuda semua orang yang akan memasuki
areal suci tersebut, serta kayu tulak dan kayu sisih (Phillantus
boxipolius Muell Arg) yang diyakini mampu menolak dan menyisihkan segala
pikiran yang baik dan yang buruk. Hanya orang yang berpikiran baik saja
yang boleh masuk ke halaman Utama Mandala. Di bagian dalam Utama
Mandala ditanami salah satu di antaranya adalah nagasari (Mesua ferica
L) adalah tanaman yang auranya paling putih bersih dan dingin, sehingga
dianggap sebagai tanaman kesayangan para Dewi. Nagasari berarti Naga
Anantaboga dan Basukih yang mengikat “sahananing sarining gumi dan
manah” dalam bahasa bali yang artinya segala amerta dari bumi dan dari
pikiran. Selain itu juga ditanami tanaman yang berbau harum seperti
pudak, cempaka, sandat, mawar, kenanga, dapdap, siulan dan tanaman
keperluan upakara lainnya.
Di areal “natah” sebaiknya tidak ditanami tanaman yang berbuku-buku
seperti kelapa, tebu dan sejenisnya, karena diyakini dapat menyebabkan
terputus-putusnya kehidupan dan rejeki. Demikian pula kurang baik kalau
ditanami beringin yang akarnya sampai masuk ke dalam tanah, karena dapat
menjadi tempat hunian Banaspati Raja yang kurang baik bagi penghuninya.
Akan menjadi lebih baik kalau ditanami tanaman-tanaman berbagai jenis
bunga dan beberapa tanaman buah terutama belimbing. Tanaman buah-buahan
sebaiknya ditanam di areal “teba” (tegalan) dekat dapur atau di bagian
luar natah lainnya.
Tanaman untuk keperluan dapur dan tanaman obat-obatan untuk keluarga
(toga) biasanya ditanam di dekat dapur. Pola penanaman semua jenis
tanaman tersebut, sebaiknya tetap memperhatikan nilai estetikanya selain
tindakan budidaya yang dianggap penting agar tanaman dapat tumbuh
dengan baik.
Dalam pertamanan di Bali, baik untuk pertamanan rumah, pura,
perkantoran atau pertamanan untuk umum lainnya, untuk mewujudkan Bali
sebagai Pulau Taman diharapkan dan dianjurkan menggunakan tanaman
lokal Bali sebagai tanaman pertamanannya. Selain dapat dipakai sebagai
pemenuhan arsitektural, estetika, dan fungsional, juga untuk keperluan
upakara dan usada. Penempatan dari masing-masing tanaman disesuaikan
dengan kegunaan yang diharapkan dari tanaman tersebut. Kalau tanaman
tersebut dapat diharapkan berfungsi ganda, misalnya selain sebagai
tanaman obat dapat pula dipakai sebagai tanaman hias, maka baik ditanam
di sekitar dapur atau di halaman rumah lainnya. Seperti blatung
gada/kaktus misalnya, selain dipakai penolak bala di halaman luar rumah,
menurut Isnandar (2003) dapat dipakai sebagai obat hepatitis, bisul
maupun radang kulit, jadi penempatannya dapat di halaman luar pintu
rumah atau sekitar dapur.
Aspek Relegi Pertamanan Tradisional Bali
Seperti diketahui bahwa sarana upakara di Bali (Hindu), terdiri dari
air, daun, bunga, buah dan api. Selain unsur api dan air, selebihnya
adalah merupakan unsur tanaman. Sloka pada Weda V.11.6 berbunyi : “Tvam
agne agniraso guhahitam Anuavidan sinriyanam vane-vane” yang artinya
kurang lebih bahwa tanaman merupakan ciptaan Tuhan untuk menunjang
kebutuhan makhluk hidup termasuk manusia (makan dan keperluan lainnya).
Lebih jauh lontar Bhagawad Gita IX sloka 26 menyebutkan bunga sebagai
unsur pokok dalam upakara selain buah-buahan, daun dan air yang bunyinya
: Pattram Puspamtoyam Yo me bhakty prayacchati Tad aham bhaktyupahrtam
Asn-mi prayat-tmanah yang artinya kurang lebih adalah siapa pun dengan
kesujudan hati mempersembahkan pada Ku (Tuhan) daun, bunga, buah-buahan
dan air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati
yang suci, aku terima. Unsur-unsur persembahan itu dibentuk sedemikian
rupa sehingga menjadi “banten” atua sesaji (sesajen).
Lontar Aji Fanantaka dan Kunti Sraya, menyebutkan ada beberapa tanaman
yang dapat dan tidak dapat dipakai sebagai kelengkapan upakara.
Bagian tanaman yang paling banyak dipakai sebagai kelengkapan dalam
upakara adalah bunga, kemudian buah dan daun. Bunga selain mempunyai
makna keindahan, juga umumnya berbau harum, sehingga dapat memberi
pengaruh kesucian dan membantu pemusatan pikiran menuju Tuhan.
Penempatan atau penanaman tanaman disesuaikan dengan Pengider Bhuana
(putaran bumi) terutama dilihat dari segi warna bunga atau buahnya.
Tanaman mendori putih, sebaiknya ditanam di Timur atau Purwa karena
sebagai pelambang dari Sang Hyang Iswara.
Tanaman jambe atau pinang terdiri dari beberapa jenis, seperti buah
pinang sari, buah gangga, dan jenis buah pinang lainnya akan lebih baik
ditanam di bagian Selatan atau daksina, karena sebagai pelambang dari
Sang Hyang Brahma. Tanaman siulan, sebaiknya ditanam di bagian Barat
atau pascima, banyak dipakai dalam kwangen (sarana sembahyang), dan
sesajen lainnya. Tanaman teleng biru, akan lebih baik kalau ditanam di
bagian Utara atau uttara, digunakan dalam setiap sesaji. Tanaman tunjung
atau teratai yang terdiri dari berbagai macam warna, yang dipakai di
berbagai keperluan upakara dewa-dewi, penempatannya di pekarangan
mengikuti warnanya yaitu biru di uttrara (utara), putih di purwa
(timur), merah di daksina (selatan) dan kuning di pascima (barat).
Demikian pula halnya dengan jenis tanam-tanaman lainnya, seperti kelapa
merupakan unsur terpenting dari berbagai jenis kelengkapan upakara
seperti dalam upakara keagamaan Hindu seperti Padudusan, pecaruan Rsi
Gana, labuh Gentuh dan pecaruan besar lainnya. Kelapa gading di barat
untuk Dewa Mahadewa, Kelapa Bulan (warna putih) di timur untuk Dewa
Iswara. Kelapa Gadang (hijau) di utara untuk Dewa Wisnu. Kelapa Udang di
selatan untuk Dewa Brahma. Kelapa Sudamala (Wiswa warna, campuran
keempat warna yang telah dikemukakan) di tengah untuk Dewa Siwa. Jenis
kelapa yang lain dan juga digunakan dalam kelengkapan upakara adalah
kelapa Bojog, Rangda, Mulung, dan Julit. Penanamannya di luar “natah”
dapat disekitar dapur, areal pekarangan, tegalan.
Dengan adanya persembahan dan sarana sesajen dalam upakara Dewa Yadnya,
yaitu persembahan kepada Dewa Nawa Sanga (sembilan dewa) adalah : Dewa
Wisnu di Utara dipersembahkan godem atau jawaras (Sorgum vulgare Pers),
Manggis (Garcinia mangosta L), Pangi (Pangium edule Reinw) daun poh atau
mangga (Mangifera indica). Kehadapan Dewa Brahma di Selatan
dipersembahkan : Jagung (Zea mays L), salak (Zalacca sdulis BL), pinang
(Areca atechu L), dan daun manggis. Dewa Iswara di Timur dipersembahkan :
Kemiri (Alereutes molucana Wild), cereme (Phyllanthus acidus Skeels),
dan daun durian (Durio zibethinus Mere). Dewa Mahdewa di Barat
dipersembahkan : Kelapa (Cocos nusifera L), jagung, dan daun duku
(Lancium domesticum Jack). Dewa Siwa di Tengah dipersembahkan : beras
(Oriza sativa L), Jali (Coix Lacryma-jobi L), dan nanas (Ananas comosus
L).
Demikian pula jenis bunga yang digunakan dalam persembahyangan
disesuaikan dengan warna yang dipilih sesuai dengan Asta Dala dan
baunya harum. Beberapa jenis bunga yang baik dipakai dalam
persembahyangan masing-masing Dewa yang dipuja adalah sebagai berikut :
Dewa Wisnu adalah bunga kenanga atau teleng, Dewa Brahma adalah bunga
mawar merah, teratai biru, bunga soka, kenyeri, kembang kertas merah,
Dewa Iswara adalah bunga teratai putih, jepun atau kamboja petak
(putih), cempaka putih. Dewa Mahadewa adalah bunga teratai kuning,
cempaka kuning, kembang kuning atau alamanda.
Itulah beberapa jenis bunga yang baik dipakai kalau kita melakukan persembahyangan pada saat upacara suci umat Hindu.
Aspek Usada Dalam Pertamanan Tradisional Bali
Pertamanan/lansekap itu sendiri secara keseluruhan sudah merupakan usada
(obat), karena dapat menghilangkan stres, kelelahan, letih, lesu,
kebingungan, marah dan sebagainya, akibat dari keindahan dan kesejukan
yang dipancarkan dari taman itu sendiri. Adalah sudah menjadi pandangan
umum kalau pertamanan dapat mengubah karakter atau prilaku orang yang
menempati atau penikmatnya, ditambah lagi dengan aura yang dipancarkan,
maka jiwa yang sedang marah atau pemarah dapat menjadi penuh kasih
sayang, duka menjadi periang, pendiam menjadi humoris dan sebagainya.
Bukan saja secara kolektif tanaman dapat sebagai usada (obat), akan
tetapi secara sendiri-sendiri juga sering dipakai sebagai obat atau
usada, seperti misalnya tanaman janggar ulam (tanaman penyedap masakan)
sangat baik dipakai sebagai obat menurunkan dan menstabilkan tekanan
darah tinggi. Isnandar (2003) menyebutkan bahwa tanaman makuto dewa,
sangat baik untuk mencegah penyakit kanker. Tanaman tanjung kalau
dicampur dengan buah pinang yang masih muda dan gambir, sangat baik
untuk memperbesar dan mengencangkan payu dara. Petikan cina, pulosari
baik sekali dipakai untuk meningkatkan vitalitas kaum laki. Bila sulit
punya anak/mandul dapat diatsi dengan meminum ramuan umbi bangle, bawah
putih, kencur dan daun jempiring.
pertamanan tradisional Bali mempunyai filosofi yang sangat tinggi
sebagai unsur tanaman yang memberi kehidupan, keteduhan, kedamaian,
keindahan, tempat meditasi, memuji dan menyembah kebesaran Tuhan sebagai
warisan budaya Hindu di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar